Friday, December 18, 2015

Kenapa MENULIS?

Berbulan-bulan blog ini terbengkalai. Baru dua tulisan yang saya unggah sejak pertama kali blog ini dibuat. Bukan karena saya tidak menulis, melainkan ragu. Sudah tulis sedikit, kemudian berpikir, apakah tulisan ini cukup baik untuk di posting, apakah cukup aman bagi citra saya apabila saya menuangkan pikiran-pikiran saya yang lebih sering tidak normal. Bahkan, saya sampai berpikir, apakah tidak sebaiknya saya membuat blog baru dengan nama blog yang tidak mengandung nama saya. Jadi, jika ada yang aneh pun, mereka tidak akan mengetahui sayalah penulisnya. Tapi, justru pikiran-pikiran tersebut membuat saya sadar, saya ini cupu! Kok untuk membuka diri ke dunia saja malu-malu, takut tidak sesuai nilai dan norma sosial, lalu memilih untuk menyamarkan identitas saat keinginan untuk mengekspresikan diri sangat besar. Tapi, akhirnya saya memutuskan untuk tetap meneruskan blog ini, blog yang namanya mencakup nama saya sendiri, yang akan saya isi dengan isi otak saya yang absurd. :D

Kenapa MENULIS?

Sejak kecil, seni merupakan hal yang sangat menarik bagi saya. Ketika saya duduk di bangku SD, saya sangat suka menggambar. Saya menggambar tokoh-tokoh kartun, mencontoh gambar di baju, buku, dan juga foto. Saya masih melakukannya sampai SMA. Namun, saya sadar bahwa saya cuma bisa mencontoh, tidak dapat membayangkan­­­­­­ bagaimana cara menggambar suatu objek tanpa kehadiran objek itu sendiri. Akhirnya, saya berhenti menggambar (sudah sangat jarang melakukannya). Tapi, saat kuliah saya menemukan hobby baru, yaitu crafting. Saat itu, saya sangat suka membuat kerajinan tangan dari berbagai benda yang sudah tidak digunakan lagi dan dikombinasikan dengan pernak pernik lucu. Saat itu, saya sangat rajin membuatkan kartu ucapan buatan sendiri untuk pacar, teman-temen, dan keluarga. Saya senang membayangkan bentuk atau benda apa yang dapat saya hasilkan dari potongan kertas, pernak-pernik, dan peralatan yang ada. Bahkan, saat kuliah, saya dan teman-teman saya pernah mendapatkan juara lomba mading. Karena kemampuan itu, saya kerap kali diminta untuk menjadi seksi dekorasi di kampus. Lalu, apakah crafting masih saya lakukan sampai sekarang? Jawabannya adalah saya masih sangat mencintai crafting, masih sering membayangkan benda-benda apa yang ingin saya buat ketika saya ada waktu. Namun, sampai saat ini saya tidak memprioritaskan waktu saya untuk menciptakan benda seni hasil pikiran dan tangan saya. Sayang yaah.. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di depan layar laptop dan handphone, baik untuk bekerja atau sekedar melihat media sosial. Untuk pekerjaan kantor saya bisa dibilang produktif. Namun, untuk hobby saya dibidang seni, tidak. Saya menghabiskan waktu senggang untuk melihat postingan orang di media sosial dan membaca. Sebetulnya melalui media sosial saya mengagumi seni siih. Tapi, saya sendiri tidak menghasilkan karya seni apa pun. Tidak produktif. Dan saya tidak mau terus-terusan seperti itu.

Lalu, saya mulai berpikir, saya sangat suka membaca, khususnya membaca cerita fiksi. Saya mencintai kisah, cerita, dan pelajaran dari sebuah kisah dan cerita. Saya sendiri, sejak kecil, sejak mengenal novel (sebatang kara adalah novel pertama yang saya baca – ketika saya duduk di bangku SD). Sejak saat itu saya tidak bisa berhenti berkhayal tentang kelanjutan dari cerita novel tersebut (karena saat itu saya membacanya lama sekali), saya membayangkan jika saya adalah si tokoh utama, saya akan berpetualang. Hahaha.. Aneh kaaan.. Tetapi yang ingin saya tekankan di sini adalah saya masih suka berkhayal sampai saat ini. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk belajar menulis. Menuliskan apa saja yang ada di dalam otak saya yang absurd ini. Menuliskan seluruh kisah yang saya khayalkan. Menuliskan kegundahan di dalam hati juga. J

Jadiii.. Saya akan mulai dengan perkenalan ini dulu. Pada postingan sebelumnya saya sudah membuat sebuah cerpen yang walaupun masih harus diperbaiki di seluruh bagiannya agar lebih enak dibaca, agar ceritanya lebih menarik dan tidak lurus-lurus saja, dan masih banyak sekali catatan, tapi tetap saya posting. Toh semuanya tetap harus dimulai kan? Jadi, saya akan berkomitmen kepada diri saya sendiri untuk terus menulis, terus belajar, mulai memberanikan diri untuk memperlihatkan dan minta feedback kepada teman-teman yang lebih senior tentang tulisan saya.


*sebenarnya beberapa orang juga bilang suara saya enak didengar. Tapi menjadi penyanyi bukan salah satu mimpi saya sehingga tidak saya bahas dalam tulisan ini :D. Terkait dengan crafting. Saya tetap cinta dan sekali-sekali saya akan melakukannya kok. Tunggu postingan tentang prakarya saya yaa. 

Friday, July 3, 2015

DIALOG PERTAMA DENGAN TUHAN

Ponsel yang ia letakkan di atas jok motor terus berdering. Namun, Ryan memilih untuk tidak menghiraukannya. Ia tetap menikmati rokoknya. Menghisap sampai pipinya membentuk cekungan yang sangat dalam, membiarkan asapnya tetap di dalam mulut beberapa detik, lalu membebaskan asap rokok itu keluar dari mulutnya secara perlahan.

“Seandainya asap rokok di dalam mulutnya itu adalah masalah yang sedang aku alami. Sekali tiup, masalah tersebut langsung terbang bersama udara.” Pikir Ryan sambil menatap kosong ke arah lautan lepas di hadapannya.

Layar poselnya Ryan hanya menampilkan deratan angka, tidak menunjukkan siapa Sang Penelpon. Namun, Ryan tahu persis siapa yang menghubunginya. Justru itulah yang membuatnya enggan menjawab. Biasanya Sang Penelpon menghubunginya untuk meminta Ryan menggantikannya menjaga sebuah toko kecil yang menjual tiket bus antarkota atau meminta Ryan untuk menjaga anak-anaknya sementara Ia pergi. Tapi, Ryan tahu kali ini bukan untuk hal-hal tersebut Ia dihubungi. Kali ini terkait perkara yang lebih penting. Setidaknya penting bagi Ryan. Namun, Ryan enggan untuk menyudahi kekacauan yang sedang terjadi. Ryan ingin menikmati luapan amarah yang diarahkan kepadanya, caci maki yang dimuntahkan ke mukanya, kegelisahan yang menggerayangi, dan tentunya air mata.

Ryan memutuskan untuk memasukkan ponselnya yang masih berdering ke dalam saku jaket. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum menjatuhkannya ke tanah. Sambil menginjak rokok untuk mematikan bara apinya, Ryan menyunggingkan senyum di bibirnya. Namun, bukan jenis senyum yang menandakan kebahagiaan dari si empunya senyum, melainkan senyuman getir. Ryan menarik resleting jaketnya lebih tinggi hingga hampir mencapai lehernya. Ia meraih helm yang menggantung di spion sebelah kanan dan mengenakannya. 

“Aku harus tidur.” Begitu pikirnya sambil menaiki motor dan segera memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Tidak ada tujuan yang pasti. Seperti selama ini memang ia tidak memiliki tujuan yang pasti dalam hidupnya. Yang penting setiap hari ia bisa makan, minum, tidur, dan bersenang-senang dengan versinya. Seputar itu sajalah hidupnya.

***

Ryan menepi di sebuah masjid kecil. Tentunya bukan untuk sembahyang. Tahu caranya pun tidak. Ia hanya butuh tumpangan untuk tidur malam itu dan tempat yang cukup aman untuk menaruh motornya selama ia terlelap. Ia memilih mushola yang tidak terlalu besar karena biasanya tidak ada penjaganya. Penjaga mushola mana yang akan membiarkan orang berbau alkohol sepertinya tidur di tempat yang mereka sebut dengan rumah Tuhan ini?

Setelah memastikan bahwa motornya sudah terkunci, ia lalu masuk ke dalam ruangan yang biasa digunakan oleh para jemaat melaksanakan ritual sembahyang. Ketika menginjakkan kakinya ke dalam, ia langsung menghirup bau tidak sedap. Seperti berada di ruangan kecil yang berisi ribuan sepatu basah yang tidak pernah kering selama ratusan tahun. Bau apek!

“Aku iba padamu, Tuhan. Beginikah mereka memperlakukanmu? Aku saja ogah tidur di tempat seperti ini kalau bukan karena kepepet.” Kata Ryan sambil melihat sekeliling ruangan kecil tersebut hanya dengan bantuan penerangan cahaya dari ponselnya. Ia sengaja tidak menyalakan lampu agar tidak membuat orang-orang yang melintasi masjid curiga.¬
Ryan akhirnya memilih salah satu sudut ruangan sebagai tempatnya tidur. Ia menyusun dengan asal sajadah dan mukena untuk dijadikan bantal darurat. Ryan pun segera merebahkan badannya ke atas lantai yang dilapisi dengan karpet tipis dan agak lembab itu. Ketika punggungnya menyentuh lantai, ia langsung meringis kesakitan. Badannya remuk redam.

“Arrghh.. Sialan! Keras juga pukulan mereka” seru Ryan dalam hati sambil mengaduh.
Ingatan Ryan kembali membawanya ke peristiwa yang baru saja dialaminya beberapa jam lalu. Berawal dari telpon yang memintanya segera kembali ke rumah. Dari nada suara Sang Penelpon yang tinggi, Ryan tahu bahwa ia sedang marah dan betul-betul menginginkan Ryan berada di sana saat itu juga. Ryan memutuskan untuk mematuhi permintaannya. Namun, Ryan tidak menyangka bahwa setibanya di rumah, keluarga besarnya sudah menanti. Ryan sangat terkejut. Tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya bahwa akan ada peristiwa seperti yang dialaminya saat itu, di mana seluruh keluarga berkumpul untuk dirinya. Alih-alih senyum riang, kue ulang tahun, dan teriakan surprise yang biasanya mereka berikan ketika sepupu-sepupunya ulang tahun, Ryan malah disambut oleh mata-mata yang menatapnya tajam seakan ingin menerkamnya hidup-hidup. Sesaat Ryan tidak mengerti apa yang tengah terjadi di ruangan tersebut. Ia mencoba mengingat-ingat kesalahan apa yang dilakukannya pagi tadi sebelum meninggalkan rumah. Namun, rasanya lupa mematikan lampu kamar mandi tidak akan membuat mereka segeram itu. Dengan gerakan matanya Ryan menyapu sekeliling ruangan, berharap menemukan petunjuk sampai matanya tertuju pada benda yang digenggam oleh salah seorang adik laki-laki Sang Penelpon. Sebuah wadah plastik kecil berisi bubuk putih dan jarum suntik. Jelas sudah sekarang.

“Ryan, apa yang kamu lakukan dengan benda-benda ini?!” teriak Om-nya sambil melemparkan benda yang dipegangnya ke arah Ryan.

Walaupun udara tidak terlalu panas, namun keringat dingin mengucur di dahi Ryan. Sepertinya darah yang dipacu ke arah jantungnya sepuluh kali lebih banyak sehingga bunyi debarannya pun sangat tidak beraturan. Mungin jantungnya memiliki firasat bahwa saat itu akan menjadi saat-saat terakhir baginya bekerja memacu darah dan menyebarkannya ke seluruh tubuh Ryan. Tapi sepertinya jantung lupa memacu darah menuju ke otak Ryan sehingga ia tidak mampu memikirkan satu alasan pun yang dapat dikarang untuk membebaskan diri dari jeratan kelompok singa lapar di depannya. Ia hanya mematung di tempatnya yang tentu saja semakin menunjukkan ia tidak dapat mengelak bahwa barang-barang tersebut adalah miliknya. Ia hanya menunduk terdiam sampai ia dikejutkan oleh tamparan keras di pipi kanannya atau mungkin sebuah tinju karena cukup keras untuk membuatnya terpelanting ke lantai. Sayangnya pukulan tersebut membuatnya semakin dekat dengan kawanan singa lapar yang segera menerjangnya. Sang Penelpon berada di antara mereka. Ia tidak ikut memukuli Ryan, tapi tidak juga membantunya melepaskan diri dari pukulan-pukulan saudara-saudaranya. Ia hanya menjerit-jerit di pojok ruangan sambil menangis. Tidak jelas apakah tangis bahagia atau sedih. Ryan juga tidak terlalu peduli.

***

“Hai, Tuhan. Kata orang, Kau maha tahu dan maha mendengarkan?! Kalau begitu kau pasti selalu ada bersamaku ketika setiap peristiwa terjadi kepadaku. Kau ingat ketika aku berusia 5 tahun?! Percaya atau tidak, saat itu merupakan saat terakhir aku merasakan kebahagiaan.” Ryan memulai ceritanya kepada Tuhan seolah-olah Tuhan berada di samping saat itu.

“Pada saat itu aku masih tinggal bersama kedua orang tuaku. Meskipun mereka sering kali bertengkar, yang biasanya disebabkan oleh uang, setidaknya perhatian keduanya sepenuhnya tertuju padaku.” Ryan berhenti sejenak. Matanya menatap kosong ke langit-langit mushola yang tidak terlalu tinggi.
”Papa tidak bekerja. Katanya, itulah yang menjadi penyebab utama pertengkaran Mama dan Papa. Meskipun memiliki titel Sarjana Ekonomi, tetapi Papa tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Mama mengambil peran Papa sebagai tulang-punggung dalam keluarga kami. Ia menjajakan pakaian dagangannya kepada tetangga-tetangga kami yang tidak kalah miskinnya dengan kami dan juga kepada tetangga kakaknya yang daerah tempat tinggalnya sedikit lebih elit dari pada tempat tinggal kami. Mama selalu membawaku, yang saat itu sakit-sakitan, kemana pun ia pergi. Sedangkan, Papa tidur lebih larut dan bangun saat matahari sudah pada titik kulminasinya. Anda tentu saja sudah bisa menerka lanjutan ceritaku kan?!” Seru Ryan. Tanpa sadar ia menarik nafas panjang dan menghempaskannya dengan kencang.

Kali ini Ryan tidak dapat menghalangi rindu membawa kembali kenangan-kenangan 12 tahun lalu yang dengan susah payah ia coba lupakan dengan berbagai cara. Saat-saat perhatian kedua orang tuanya hanya dicurahkan kepada anak semata wayang mereka, yaitu Ryan. Hanya nama Ryan yang mereka sebut, baik saat keduanya sedang berdamai atau saat bertengkar. Ryan yang saat itu menderita asma akut dijaga bagai mutiara di yang diletakkan dalam cangkangnya agar kelak menjadi mutiara yang indah. Namun, Ryan pula lah yang disebut-sebut ketika kedua orang tuanya bertengkar. Papa selalu dipojokkan karena dianggap tidak dapat melaksanakan kewajibannya memberi nafkah kepada anaknya yang sakit-sakitan dan istrinya. Karena tidak terima dengan perlakuan Mama, Papa sering kali memukulnya.

Semakin lama mereka semakin sering bertengkar. Papa juga semakin mudah melayangkan tangannya ke arah Mama. Kadang Papa menarik rambut Mama dan menyeretnya dari kamar tidur ke arah ruang tamu jika Mama menolak keluar dari kamar saat Papa ingin tidur. Ryan hanya diam. Kadang Ryan ikut menangis bersama Mamanya. Saat itu Mama sering tidak pulang. Ia memilih untuk tinggal di rumah kakaknya yang jauh lebih elit dibandingkan rumah mereka. Kadang Ryan dibawa oleh Mamanya, namun kadang Ia ditinggal bersama Papanya. Papa tidak pernah memukul atau menjambak Ryan. Papa sangat baik pada Ryan. Ryan sadar bahwa Papa dan Mama sudah tidak saling menyayangi. Percaya atau tidak, saat itu merupakan saat-saat paling membahagiakan dalam hidup Ryan. Saat perhatian kedua orang tuanya dicurahkan hanya kepadanya. Namun, kebahagiaan tersebut perlahan-lahan memudar saat Mama mengajukan gugatan cerai kepada Papa.

Sesaat setelah gugatan cerai diajukan, perilaku Papa berubah. Ia tidak pernah lagi memukul atau menjambak Mama. Bahkan ia mulai bangun pagi untuk menjaga kios kecil mereka. Namun, tampaknya usahanya tidak mengubah keputusan Mama. Mereka tetap berpisah. Masalah selanjutnya adalah mereka memperebutkan hak asuh atas Ryan. Dengan caranya masing-masing mereka membujuk Ryan memilih untuk tinggal dengan salah satu dari mereka. Tentu saja itu bukan merupakan hal yang mudah bagi anak seusianya untuk memutuskan apakah akan lebih baik tinggal bersama Mama atau Papanya. Pengadilan memutuskan hak asuh Ryan diberikan kepada Papanya. Entah apa pertimbangannya, hak asuh seorang anak berusia lima tahun diberikan kepada Papa-nya yang seorang pengangguran. Namun, bagi Ryan tidak ada bedanya tinggal bersama Papa atau Mama karena di mana pun Ia tinggal, mereka akan hidup terpisah.
Tidak lama setelah perceraiannya dengan Mama, Papa segera mendapatkan pekerjaan. Bahkan ia pun mendapatkan istri baru, sepaket dengan dua anak laki-laki baru. Ryan cukup senang dengan keadaan tersebut. Artinya, Ia akan mendapatkan teman-teman baru, apa lagi usia mereka tidak terpaut jauh. Ternyata rasa senang itu tidak bertahan lama. Perhatian Papa segera didominasi oleh Istri dan kedua anak barunya. Ryan segera terabaikan. Ia rindu kepada Mama. Namun, tidak mudah untuk bertemu dengannya. Papa, dengan berbagai alasan, mencoba untuk menjauhkan Ryan dari Mamanya. Tapi Ryan tidak kehabisan akal. Sepulang sekolah Ia berjalan kaki menuju ke pasar yang terletak dekat rumahnya, tempat di mana salah satu kakak dari Mamanya membuka sebuah toko pakaian. Ryan memanggilnya Ua Nur.

“Ua Nur, Ryan mau ketemu Mama. Suruh Mama datang ke rumah Ua Nur, lalu Ua Nur jemput Ryan di rumah Papa. Bilang aja Ua Nur mau ajak Ryan jalan-jalan. Pasti Papa bolehin Ryan ikut sama Tante Nur.” Demikian Ryan menyampaikan keinginannya untuk bertemu dengan Mamanya kepada Sang Ua.

Akhirnya, Ryan berhasil bertemu dengan Mamanya dan hal itu kerap kali dilakukan. Tentunya tanpa sepengetahuan Papanya. Setiap kali bertemu, Mama selalu memberikan Ryan baju baru, peralatan mandi, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Hal ini karena Ryan menceritakan kepada Mamanya bahwa barang-barangnya sering kali digunakan bahkan diambil oleh saudara tirinya tanpa sepengetahuan Papanya. Namun, Papa Ryan akhirnya curiga karena anaknya semakin sering izin untuk mengunjungi rumah Ua-nya dan ketika pulang Ia selalu membawa pakaian atau barang baru lainnya. Akhirnya Papa Ryan memutuskan untuk mempersulit pemberian izin kepada Ryan jika ingin pergi ke rumah Ua Nur-nya.
Karena hambatan dari Papa-nya untuk bertemu dengan Mamanya, Ryan yang saat itu sudah duduk di Kelas 4 SD memutuskan kabur dari rumah Papa. Tidak jauh-jauh, ia kabur ke rumah Ua Nur-nya dengan harapan akan lebih sering bertemu dengan Ibunya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Ibunya yang saat itu sudah menikah dan memiliki anak lagi juga semakin sulit membagi waktunya untuk Ryan. Sedangkan Papa Ryan, terkesan sudah “mengikhlaskan” Ryan untuk diasuh oleh Ua Nur-nya. Kadang-kadang Papa Ryan datang mengunjunginya sambil mengantarkan barang-barang kebutuhan Ryan.

Semakin lama tinggal bersama Ua Nur, Ryan sadar bahwa pola asuh keluarga mereka sangat berbeda dengan pola asuh yang diterapkan Papanya yang cenderung membebaskannya main sesuka hati. Tidak jarang Ryan ditegur karena melakukan kesalahan atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh keluarga Ua Nur. Namun, semakin lama perlakukan mereka makin keras terhadap Ryan. Mereka mengatakan bahwa Ryan sulit diatur dan tidak patuh pada peraturan. Namun, Ryan merasa bahwa perlakukan keluarga Ua Nur kepada Ryan merupakan manifetasi dari rasa jengkelnya kepada orang tuanya yang tidak bertanggung jawab terhadap dirinya. Oleh sebab itu, Ia berjanji untuk keluar dari rumah Ua Nur jika ia sudah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.
Papa Ryan menawarkannya untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama disebuah pesantren yang mengharuskan muridnya untuk tinggal di asrama. Ryan mengiyakan, namun perasaannya hancur. Mamanya tidak banyak membantu. Suami barunya adalah seorang yang pencemburu, khususnya kepada mantan suami Mamanya. Seluruh barang-barang milik Mamanya, yang dibawanya dari pernikahan pertamanya, dihancurkan oleh suami barunya itu. Mamanya tidak berani membawa Ryan untuk tinggal bersamanya. Mungkin ada ketakutan bahwa Ryan akan dipukul atau disakiti juga. Saat itu ia sadar bahwanya dirinya tidak diinginkan. Papa dan Mamanya sudah memiliki kehidupan baru dan Ryan hanya disisakan sedikit perhatian. Ryan sangat kecewa karena ternyata perebutan hak asuh yang pernah terjadi dan sangat menguras tenaga itu hanya emosi sesaat. Sejak saat itu Ryan tidak pernah peduli lagi dengan aturan-aturan yang dibuat oleh orang tuanya.
Tidak lama setelah ia bersekolah di pesantren, Ryan dilaporkan kabur dari asrama. Berkali-kali Ryan dihukum dan Papanya diminta untuk datang ke pesantren. Akhirnya, Papanya memutuskan untuk kembali menyekolahkan Ryan di sekolah negeri. Walaupun prestasinya sangat baik, namun laporan tentang kenakalan Ryan tidak pernah berhenti. Ryan juga berkali-kali kabur dari rumah Papa-nya dan tinggal secara nomaden di rumah neneknya atau di rumah salah satu Om-nya (adik dari Mama Ryan). Namun, mereka pun mengeluhkan hal yang sama, yaitu kesulitan untuk mengatur Ryan.
Ryan merasa dianggap seperti musuh dalam keluarganya sendiri. Hampir semua membencinya, nyinyir kepadanya seakan semua hal yang dilakukannya salah. Tidak ada yang membelanya ketika Ia melakukan kesalahan. Hal tersebut semakin memperkuat rasa benci Ryan kepada orang tua dan keluarganya. Ryan merasa sendirian sampai ia akhirnya menemukan teman-teman yang menurutnya sangat memahaminya. Hampir setiap hari Ryan nongkrong bersama mereka. Ryan merasa diterima dalam kelompok tersebut, merasa bahwa suaranya di dengar oleh teman-temannya, dan yang paling penting adalah ia merasa lebih dihargai sebagai seorang individu. Ryan berusaha mengikuti gaya teman-teman kelompoknya. Saat itulah ia mulai berkenalan dengan rokok, minum-minuman keras, dan bahkan narkoba. Dalam waktu dekat, Ryan sudah menjadi anggota kelompok tersebut. Gaya Ryan mulai berubah, nilai-nilainya di sekolah pun terjun bebas. Kata gurunya, Ryan jarang fokus pada pelajaran. Di kelas sering kali ia tertidur. Namun, siapa yang peduli? Semua sudah sibuk dengan hidupnya masing-masing, termasuk Ryan.

***

Kasus anak-anak pengguna narkoba sedang marak di Tente, salah satu kecamatan yang terdapat di Kota Bima, tempat tinggal Ryan. Dalam beberapa bulan terakhir ini saja sudah puluhan orang yang ditangkap oleh polisi, baik karena menggunakan atau mengedarkan narkoba. Karena laporan tentang perilaku Ryan di sekolah, nenek Ryan mengundang 10 orang anaknya, termasuk Mama Ryan, untuk mendiskusikan keadaan tersebut. Salah satu Om Ryan mengusulkan untuk memeriksa kamar Ryan untuk memastikan apakah Ryan memang menggunakan obat-obatan terlarang itu atau tidak. Mama Ryan sangat cemas. Ia tidak sanggup menerima kenyataan jika anaknya benar-benar mengonsumsi narkoba. Namun, penggeledahan di kamar Ryan pun tetap dilakukan dan benar saja mereka menemukan sekantong kecil sabu-sabu beserta alat injeksinya. Mama Ryan lemas. Ia langsung terduduk di pinggir kasur anaknya tersebut. Terngiang kata-kata salah satu keponakannya kepada dirinya beberapa tahun yang lalu,

“Maaf ya, Tante. Tapi soal Ryan make narkoba itu tinggal tunggu waktu aja menurutku. Coba tante bayangkan, dia tidak mendapatkan perhatian dari Papa dan Mamanya. Sepertinya keluarganya yang lain pun seperti tidak ikhlas menerima kehadiran Ryan di rumah mereka. Pasti ia akan mencari perhatian dari orang lain, tante. Jika lingkungannya, seperti yang tante bilang tadi, banyak pengguna narkobanya, maka satu-satunya jalan agar Ryan diterima dalam kelompok itu adalah mengikuti apa yang mereka lakukan.” Mama Ryan termenung sambil mengingat percakapannya dengan salah satu keponakannya.

Mama Ryan dikejutkan oleh suara lantang Ayahnya yang memerintahkan dirinya untuk segera menelpon Ryan dan memintanya datang ke rumah neneknya. Ia pun segera melaksanakan perintah tersebut.

***

Ryan tersadar dari lamunannya. Ia baru sadar bahwa ia menangis ketika merasakan matanya basah dan hidungnya sedikit berair. Ia meraih handphone yang di letakkan di sebelah kiri dekat kepalanya dan mengecek sudah berapa lama ia melamun? Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 03:00 dini hari. Masih ada waktu sekitar satu jam lebih untuknya tidur sebelum orang-orang berdatangan untuk melaksanakan solat subuh.

“Tuhan, kau mendengarkan aku kan? Hehehee.. Tau kan mengapa aku bengal begini?! Aku hanya ingin miliki kehidupan lain di luar rumahku, yang tidak bisa aku dapatkan di rumah, seperti perhatian dan penghargaan kepada diriku. Aku muak harus bergantung terus kepada Mama, Papa atau harus dioper dari satu keluarga ke keluarga lainnya untuk bersedia menampungku. ”  Ryan lalu mengakhir dialognya dengan Tuhan.                                                                                                  
***

Pagi itu Ryan memutuskan kembali ke rumah neneknya untuk mengambil pakaian selama beberapa hari. Namun, betapa kagetnya Ryan karena ketika Ia masuk ke dalam rumah neneknya sudah ada beberapa orang polisi yang ketika melihatnya langsung memborgol dirinya secara paksa. Keluarganya masih lengkap dalam rumah itu, seperti saat ia meninggalkan tempat itu kemarin. Semua tidak bergeming. Hanya diam dan menundukkan kepala. Tidak ada yang berusaha untuk menjelaskan apa yang tengah terjadi dan Ryan pun enggan untuk bertanya.
“Tuhan, kau ada di sini kan? Drama apa lagi yang mereka mainkan saat ini? Memenjarakanku agar lepas dari tanggung jawab untuk membesarkanku? Hehehee.. Aku akan ikuti permainan mereka dan melihat sejauh mana mereka akan menjebakku.” Kata Ryan kepada Tuhan.

Friday, June 26, 2015

Aku dan Malam


Aku belum siap untuk besok.
Jangan bawa dulu malamku.
Aku masih rindu.

Menikmati momen berdua. Hanya aku dan malam.
Bertukar cerita tanpa kata.
Aku untuk malam dan malam untuk aku.
Karena aku adalah malam dan malam adalah aku.


27 Maret 2015
Kontrakan.