Saturday, May 21, 2016

Summary of Kierkegaard's thought

"... becoming subjective is the task proposed to every human being."

-Kierkegaard-

Manusia mendapatkan kesempatan untuk mengecap berbagai rasa yang dipersembahkan oleh dunia.
Jangka waktu yang diberikan berbeda-beda (terberi) kepada setiap manusia sampai ia dipanggil kembali oleh Tuhan.
Begitu pun juga cara manusia memaknai keberadaannya di dunia selama waktu yang diberikan (dapat dikontrol oleh dirinya sendiri).

Kierkegaard merupakan satu dari segelintir manusia yang mendokumentasikan pemikirannya tentang makna keberadaannya di dunia (baca : manusia). Seperti yang saya sendiri yakini bahwa manusia dibentuk dari pemaknaan terhadap masa lalunya, Kierkegaard juga memikirkan hal yang sama.

Kierkegaard adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara yang lahir dari keluarga berada di daerah Kopenhagen. Karena kecerdasannya, Kiergegaard menjadi anak kesayangan Sang Ayah. Mereka kerap kali mendiskusikan berbagai hal yang tidak semestinya didiskusikan dengan anak semuda Kierkegaard saat itu. Salah satunya adalah tentang religi. Ayahnya juga mempersiapkan Kierkegaard untuk masuk sekolah teologi.

Ketika Kierkegaard beranjak dewasa, ayahnya menceritakan dua hal dalam hidupnya yang juga mengubah pandangannya terhadap Sang Ayah. Pertama, cerita tentang kemurkaan ayahnya kepada Tuhan karena kesulitan dan kemiskinan yang dialaminya sepanjang hidup. Kedua, cerita tentang pernikahan terlarang sang ayah dengan ibunya yang merupakan pembantu rumah tangga pada keluarganya sendiri. Bahkan, anak pertama mereka lahir hanya lima bulan setelah mereka melangsungkan pernikahan.

Kedua peristiwa tersebut mungkin sangat mengecewakan bagi Kierkegaard karena ayah yang dikaguminya selama ini dan menjadi panutan dalam hidup telah melakukan dosa-dosa besar yang pernah ia ketahui. Belum lagi, nilai-nilai agama yang telah ditanamkan sendiri oleh ayahnya sejak kecil sangat bertolak belakang dengan tingkah laku ayahnya. Selain itu, kematian beruntun kakak-kakaknya dan ibunya dimaknai sebagai kutukan Tuhan atas kesalahan yang dilakukan oleh ayahnya. Hal ini menyebabkan hubungannya dengan ayahnya semakin merenggang, begitu juga hubungannya dengan Tuhan.

Peristiwa dalam hidupnya tersebut juga mempengaruhi kehidupan percintaannya dengan tunangannya, Regina Olsen. Karena penghayatan terhadap kesedihannya yang amat mendalam, Kierkegard memutuskan untuk membatalkan pertunangannya tersebut karena ia khawatir akan membuat tunangannya, Regina Olsen yang selalu ceria akan berubah jadi pemurung dan dirundung kesedihan seperti dirinya.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya bahwa pemaknaan terhadap masa lalunya membentuk persepsi manusia terhadap makna dirinya di dunia. Pemikiran Kierkegaard tentang eksistensialisme manusia dititikberatkan pada subyektivitas. Yang dimaksud dengan subyektivitas disini adalah bahwa manusia dimaknai sebagai individual, tidak dipukul rata secara general. Tidak berdasarkan angka-angka yang menunjukkan bagaimana gambaran manusia secara general seperti yang dilakukan oleh para peneliti.

Kierkegaard sangat mengagungkan pengalaman subjektif manusia. Menurutnya, seseorang pasti dihadapkan oleh berbagai pilihan dalam hidupnya yang tentu saja pilihan-pilihan ini akan berbeda bagi setiap manusia.

Dalam karyanya yang berjudul Either/Or ia menuliskan,

"Yes, I perceive that there are two possibilities, one can do either this or that"

Manusia dikatakan eksis ketika mereka membuat pilihan atau mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan baik dan buruk. Hanya dengan begitu pilihan yang dibuatnya menjadi bermakna. Seseorang yang melakukan pertimbangan yang matang saat mengambil keputusan dan tidak membiarkan dirinya terombang-ambing oleh pemikiran orang lain atau pemikiran lain yang dianggap lebih rasional, maka dia dikatakan bebas. Dengan begitu, manusia akan bertanggung jawab terhadap apa pun pilihannya dan menjalani konsekuensi dari pilihan yang telah dibuatnya.

Saya setuju dengan pemikirannya tentang hal ini. Bahwa manusia bertanggung jawab terhadap semua keputusan yang dibuatnya dalam hidup. Sepanjang hidupnya, manusia akan selalu dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Baik pilihan yang sulit (yang dampaknya besar dan jangka panjang) atau pilihan sederhana saja. Kenapa? Karena pada akhirnya manusia akan kembali pada dirinya sendiri, harus berdiri di atas kakinya sendiri untuk menjalani konsekuensi dalam hidupnya. Membuat keputusan sendiri bukan berarti mengabaikan masukan dari orang lain. Tapi jadikan itu sebagai bahan pertimbangan, bukan serta merta langsung memutuskan.

Semakin dewasa (baca : tua *:p), semakin banyak contoh tentang subyektivitas individu yang dimaksud oleh Kierkegard. Misalnya, ketika memilih jurusan kuliah. Banyak sekali pertimbangan. Saya sendiri sampai mengalami perdebatan yang hebat dengan orang tua saya saat itu. Mereka memaksa saya untuk memilih universitas yang pilihan jurusannya tidak sesuai dengan minat saya. Alasannya sangat jelas. Biaya. Saya harus berpikir keras. Satu sisi saya tidak bisa memaksakan orang tua saya terkait biaya, tapi sisi lain saya pasti tidak akan bahagia kuliah di jurusan yang tidak saya inginkan. Akhirnya pada saat itu saya berkeras untuk tetap pada pilihan saya dengan pertimbangan bahwa toh universitas yang saya tuju adalah universitas yang kualitasnya baik dan tidak mahal. Harusnya tidak jadi masalah.

Kembali pada pemikiran Kierkegaard tentang eksistensialisme. Ia berpikir bahwa eksistensi bagi manusia merupakan tugas dan keharusan. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk bergabung dalam satu kelompok dengan tujuan untuk menyamarkan dirinya sebagai individu. Membebaskan diri dari tanggung jawab sebagai individu. Jadi ingat salah satu teori yang saya pelajari saat kuliah Psikologi Sosial (tapi lupa nama teorinya apa) bahwa dalam kerja kelompok itu pasti ada saja orang-orang yang free rider atau anggota kelompok yang tidak berkontribusi apa pun. Tapi toh dosen tidak tahu bahwa siapa anggota kelompok yang mengerjakan tugas dan mana yang tidak. Selain itu, ada juga konsep konformitas yaitu kecenderungan manusia untuk memilih atau memutuskan sesuatu yang lebih populer, dianggap lebih bagus atau lebih baik. Nah Kierkegaard pasti sangat tidak setuju dengan konsep ini. Mengaburkan tanggung jawab individu katanya. Saya setuju!

Namun, ada satu pemikirannya yang kurang sesuai dengan saya secara pribadi. Menurutnya pers membentuk pendapat umum yang anonim. Begini yang ia katakan tentang pers,

"Indeed if the press were to hang a sign out like every other trade, it would have to read: Here men are demoralized in the shortest possible time, on the largest possible scale, for the smallest possible price."

Ia juga tidak setuju dengan kegiatan mengumpulkan tanda tangan untuk menggalang kekuatan kelompok. Ia mengatakan bahwa mengandalkan diri hanya pada kekuatan numerik adalah kelemahan etis.

Menurut saya, ada beberapa isu yang tidak mudah dimengerti oleh semua orang sehingga media memberikan informasi-informasi berupa fakta untuk membantu mereka mengambil sikap tertentu. Tentunya masyarakat juga harus pintar memilah informasi yang disajikan oleh media massa, tidak menerimanya mentah-mentah. Di sini manusia kembali ditantang untuk menunjukkan eksistensialismenya dengan menimbang lebih dalam informasi dari media massa atau kelompok yang kekuatannya sangat besar. Apakah kita bisa mempertahankan eksistensi kita dengan tetap teguh pada pendirian kita meski pun berbeda dari pendapat kelompok atau sikap yang ditunjukkan oleh media massa.

Walaupun demikian, sebenarnya Kierkegaard tidak anti pada kelompok atau bergabungnya individu dengan individu lainnya. Menurutnya,

"It is only after the individual acquired an ethical outlook ... that there can be any suggestion of really joining together. Otherwise the association of individuals who are themselves weak is just a disgusting and hamrful as the marriage of children."

Sebetulnya saya setuju dengan apa yang dikatakannya. Tapi apakah sudah cukup banyak individu yang sudah mencapai eksistensi seperti yang dikatakan oleh Kierkegaard? Apa lagi di Indonesia. Budaya nggak enakan, budaya nggak sopan sama orang tua kalau ngelawan, takut dosa kalau nggak nurut kata orang tua. Sangat besar kemungkinan seseorang menjadi tidak eksis. Bisa dibilang begitu kan yaa. Menurut saya, Kierkegaard pun menelurkan pemikirannya tentang eksistensialisme ini berdasarkan pengalaman subyektive-nya sehingga kita juga akan mempersepsikannya sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut.

Selamat berkontemplasi ☺

Sumber :
Hasan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Pustaka Jaya: Jakarta.

*sejujurnya saya lupa apakah ini cara penulisan daftar pustaka yang benar 😅